Beranda | Artikel
Talqin Menjelang Kematian
2 hari lalu

Talqin Menjelang Kematian ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 8 Rabiul Awwal 1447 H / 1 September 2025 M.

Kajian Tentang Talqin Menjelang Kematian

Yang pertama, kita harus mentalqin orang tersebut dengan kalimat laa ilaaha illallaah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ

“Talqinlah orang yang akan mati di antara kalian dengan kalimat laa ilaaha illallaah.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan “mayit” dalam hadits ini adalah orang yang sedang mendekati ajalnya. Orang Arab biasa menyebut sesuatu dengan sebutan yang dekat dengannya, sehingga orang yang sedang menghadapi sakaratul maut disebut sebagai “mayit”.

Karena itu, jangan sampai hadits ini dipahami keliru, seakan-akan talqin dilakukan setelah seseorang meninggal. Pemahaman yang benar adalah mentalqin orang yang masih hidup namun sedang menghadapi kematian.

Talqin artinya menuntun seseorang agar mengucapkan laa ilaaha illallaah. Tujuannya agar ia mendapatkan husnul khatimah, sehingga akhir kata yang terucap di dunia ini adalah kalimat tauhid. Dengan demikian, ia menutup kehidupan dunia dengan kalimat laa ilaaha illallaah.

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallaah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud)

Para ulama telah berijmak tentang disyariatkannya talqin, yaitu menuntun orang yang mendekati ajalnya dengan kalimat laa ilaaha illallaah.

Namun, ketika menuntun orang yang mendekati ajal, jangan dilakukan dengan cara yang membuatnya benci. Misalnya, dengan suara keras atau nada marah. Hal itu justru akan membuatnya enggan mengikuti ucapan yang dituntunkan.

Talqin hendaknya dilakukan dengan lembut, bahkan lebih baik jika mendekatkan mulut ke telinganya, lalu mengucapkannya dengan suara selembut dan sehalus mungkin.

Hal ini berdasarkan hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang akhir ucapannya laa ilaaha illallaah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud)

Para ulama telah berijmak bahwa talkin disyariatkan, yaitu menuntun orang yang mendekati ajalnya dengan kalimat laa ilaaha illallaah.

Ketika menuntun orang yang mendekati ajal, hendaknya tidak dilakukan dengan cara yang membuatnya benci. Misalnya, dengan suara keras atau nada marah yang dapat membuatnya enggan mengikuti ucapan tersebut.

Talkin harus dilakukan dengan lembut. Tidak perlu dengan suara keras, bahkan lebih baik jika mendekatkan mulut ke telinganya lalu mengucapkannya dengan suara selembut dan sehalus mungkin. Yang penting orang yang sedang mendekati ajal mendengar apa yang diucapkan.

Kemudian, para jemaah sekalian rahimani warahimakumullah, jangan terlalu sering mengulang-ulang talkin. Jika ia sudah mampu mengucapkan laa ilaaha illallaah, hendaknya diberi jeda sekitar 10–15 menit, selama ia belum mengucapkan kata lain selain kalimat tauhid tersebut. Tidak perlu diulang terus-menerus.

Dikhawatirkan jika terlalu sering diulang, justru menimbulkan kebencian terhadap kalimat laa ilaaha illallaah. Padahal talqin disyariatkan dan memiliki maslahat besar bagi orang yang sedang mendekati ajalnya. Namun, talqin harus dilakukan dengan cara yang lembut, tidak berlebihan dalam mengulang, selama ia tidak mengatakan hal lain selain kalimat tauhid.

Ada sebagian orang yang mentalqin dengan cara keliru. Mereka hanya menyebut nama Allah saja, misalnya dengan ucapan “Allah, Allah, Allah.” Bahkan ada yang lebih jauh dari itu, dengan menyebut dhamir ghaib, seperti “hu, hu, hu.” Maksudnya adalah huwa, yaitu “Dia,” yang dimaksudkan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Mengapa ada orang yang meninggalkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu memakai cara sendiri seperti ini? Karena mereka lebih mendahulukan akal daripada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka khawatir jika mentalkin dengan kalimat laa ilaaha illallaah, lalu orang yang sakarat baru sempat mengucapkan “laa ilaah” kemudian meninggal, maka dianggap maknanya menjadi penafian belaka.

Padahal laa ilaaha berarti “tidak ada sesembahan yang berhak disembah.” Karena khawatir demikian, akhirnya mereka mentalqin hanya dengan “Allah, Allah, Allah” atau dengan dhamir “hu, hu, hu.” Secara logika mungkin dianggap masuk akal, tetapi secara syariat hal ini jelas menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55521-talqin-menjelang-kematian/